Sifat Wajib Rasul Yang Berarti Rasul Selalu Dapat Dipercaya Adalah

Sifat Wajib Rasul Yang Berarti Rasul Selalu Dapat Dipercaya Adalah

Perjalanan Paus Petrus hingga Wafatnya

Sesudah kebangkitan-Nya, Yesus menampakkan diri kepada murid-muridnya, salah satunya Petrus. Yesus bertanya tiga kali kepada Petrus, “Apakah engkau mengasihi Aku?” Jawab Petrus, “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.”

Dengan lembut Yesus berkata, “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Yesus mengatakan kepada Petrus untuk mengurus Gereja-Nya. Yesus menetapkan Petrus sebagai pemimpin para pengikut-Nya.

Lalu Petrus mulai memberitakan injil. Dari Antiokhia, Santo Petrus melakukan perjalanannya ke wilayah yang disebut Asia Minor atau “Asia Kecil”. Setelah itu, pria ini pun pergi ke wilayah Roma.

Berkat kedewasaan, kecakapan, dan tanggung jawab yang dimiliki, Petrus ditunjuk menjadi pemimpin Gereja Katolik pertama.

Berdasarkan catatan situs resmi Paroki Roh Kudus Labuan Bajo, Santo Petrus memimpin Katolik sampai 64 atau 67 Masehi. Sementara itu, Britannica menyebut bahwa terakhir kali masa kepemimpinannya ditutup pada 64 Masehi.

Berakhirnya tugas Petrus sebagai Paus pertama tersebut bertepatan dengan kematiannya. Petrus diganti oleh Santo Linus sebagai Paus kedua.

tirto.id - Sosial budaya

Kontributor: Yuda PrinadaPenulis: Yuda PrinadaEditor: Yantina Debora

Terdapat lima rasul yang memiliki kedudukan istimewa di antara banyaknya para utusan Allah SWT, sehingga mereka diberi gelar ulul azmi. Siapa saja?

Menurut riwayat hadits yang dinukil Imam Ibnu Katsir dalam Qashash Al-Anbiyaa, jumlah nabi dan rasul yang diutus Allah SWT ada banyak. Disebutkan terdapat 124.000 nabi sementara jumlah rasul sebanyak 313. Di antara mereka ada perbedaan kedudukan sebagaimana yang Allah SWT nyatakan dalam Surat Al-Baqarah ayat 253:

تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍۘ مِنْهُمْ مَّنْ كَلَّمَ اللّٰهُ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجٰتٍۗ

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Artinya: "Para rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian (yang lain). Di antara mereka ada yang Allah berbicara (langsung) dengannya dan sebagian lagi Dia tinggikan beberapa derajat."

Haddad Alwi dalam buku Uswatun Hasanah menyebut perbedaan tersebut pada masing-masing derajat mereka. Ada nabi yang fadhil (utama) serta juga nabi yang afdhal (lebih utama).

Nabi dan rasul yang afdhal digolongkan Al-Qur'an sebagai ulul azmi, yakni para nabi yang disifati sebagai pemilik keteguhan atau tekad yang kuat. Rasul ulul azmi berjumlah lima, yaitu Nabi Nuh AS, Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa AS, Nabi Isa AS, dan Nabi Muhammad SAW.

Kelima rasul ulul azmi bahkan disebut secara khusus dalam Surat Al-Ahzab ayat 7:

وَاِذْ اَخَذْنَا مِنَ النَّبِيّٖنَ مِيْثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نُّوْحٍ وَّاِبْرٰهِيْمَ وَمُوْسٰى وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۖوَاَخَذْنَا مِنْهُمْ مِّيْثَاقًا غَلِيْظًاۙ

Artinya: "(Ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi, darimu (Nabi Muhammad), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam. Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh."

Mereka termasuk ulul azmi lantaran punya keteguhan hati yang kuat dalam menjalankan amanat serta tanggung jawab begitu besar sehingga harus bekerja keras. Selain itu, setiap halangan yang mereka hadapi saat menyiarkan ajaran Allah SWT dapat dilalui dengan baik.

Berdoa setiap pagi untuk manusia

Sifat-sifat malaikat sangat banyak. Namun, sifat mereka dipastikan mulia dan baik. Dilansir PWNU Jatim, ada dua malaikat yang selalu berdoa setiap pagi untuk manusia.

Berikut bunyi H.R. Bukhari no. 1442:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيْهِ إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلَانِ فَيَقُوْلُ أَحَدُهُمَا اَللهم أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا وَيَقُوْلُ الْآخَرُ اَللهم أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

Artinya: Dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: "Tidak ada suatu hari pun ketika seorang hamba melewati paginya kecuali akan turun (datang) dua malaikat kepadanya lalu salah satunya berdo’a; Ya Allah berikanlah pengganti bagi siapa yang menafkahkan hartanya, sedangkan yang satunya lagi berdo’a ; "Ya Allah berikanlah kehancuran (kebinasaan) kepada orang yang menahan hartanya bakhil)."

Itulah sifat-sifat malaikat yang bisa diajarkan pada anak. Jangan lupa untuk memberikan pemahaman agar anak mengimani malaikat, ya.

Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!

TRIBUNPONTIANAK - Makhluk Allah SWT yang paling patuh dikenal sebagai Malaikat.

Malaikat sangat dekat kebaikan-kebaikan dan nilai terpuji.

Apakah arti Malaikat?

Menurut bahasa kata Malaikat berasal dari kata الملائكة merupakan kata jamak yang berasal dari kata mufrad malak الملك yang berarti kekuatan.

• Arti dan Perbedaan Jin, Iblis dan Setan, Mengenal Makhluk Gaib dalam Islam

Dalam mengemban misi dan tugasnya, para malaikat juga disebut dengan “arrusul” yang berarti para utusan Allah SWT.

Malaikat sebagai makhluk rohani yang bersifat ghaib.

Mereka diciptakan Allah dari Nur (cahaya).

Karena sifatnya ghaib, maka malaikat tidak dapat dilihat, didengar, atau diraba.

Mereka hidup di suatu alam yang berbeda dengan alam yang kita saksikan ini.

Tidak ada yang mengetahui tentang perihal keadaan mereka yang sesungguhnya, kecuali Allah SWT Malaikat disucikan Allah dari nafsu hayawaniyah, terhindar sama sekali dari keinginan-keinginan hawa nafsu, dan jauh dari segala perbuatan dosa.

Adapun inti beriman kepada malaikat ialah mempercayai keberadaannya sebagai makhluk ghaib ciptaan Allah SWT serta meyakini jenis-jenis tugas yang diamanahkan kepadanya.

Nama dan Tugas-Tugas Malaikat

Adapun tugas-tugas yang paling besar dilaksanakan oleh 10 malaikat, yaitu:

- Malaikat Jibril, bertugas menyampaikan wahyu dan mengajarkannya kepada para nabi dan rasul.

Jujur adalah sifat wajib yang dimiliki oleh rasul, yang dikenal juga dengan sebutan siddiq. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jujur artinya lurus hati atau tidak berbohong (misalnya dengan berkata apa adanya). Jujur artinya tidak curang (misalnya dalam permainan, dengan mengikuti aturan yang berlaku. Arti jujur sangat penting untuk dipahami seluruh umat Islam.

Quraish Shihab mendefinisikan siddiq atau jujur artinya orang yang selalu benar dalam sikap, ucapan, dan perbuatan. Mengutip laman Kemenag, jujur adalah kesesuaian antara niat dengan ucapan dan perbuatan seseorang. Jadi, jujur artinya perilaku manusia yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap dirinya maupun pihak lain.

Seorang rasul tentunya tidak akan pernah berbohong kepada siapa pun. Bahkan kejujuran Nabi Muhammad SAW tak hanya terkenal di kalangan sahabat, tapi juga para musuh. Hal tersebut sesuai hadis yang diriwayatkan Ali RA bahwa Abu Jahal pernah berkata kepada Rasulullah SAW:

"Kami tidak menganggap engkau dusta, tapi menganggap dusta ajaran yang engkau bawa."

Jujur artinya berkata apa adanya, lawannya yaitu bohong atau kizib. Seorang rasul harus menyampaikan kebenaran dan tentunya berlaku yang benar, tidak boleh berbohong. Hal tersebut terdapat dalam Firman Allah, berikut ini:

"Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak (pula) keliru; Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Quran itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)". (QS. An-Najm: 2-4)

Selama kurang lebih 1.500 tahun Nabi Nuh berdakwah di tengah kaumnya, tapi hanya segelintir orang yang mau mengimaninya. Realita ini membuat Nuh kecewa. Yang lebih menyakitkan lagi, putranya sendiri, Kan’an, tidak mau mengikuti ajaran ayahnya hingga akhir hayat. Sebagai anak seorang rasul yang merupakan manusia pilihan Allah, mengapa Kan’an “gagal” mendapat hidayah?

Kekecewaan Nuh terhadap kaumnya membuat dia berkeputusan untuk membinasakan mereka. Hemat Nuh, kaumnya sudah tidak bisa lagi diajak beriman. Beragam cara sudah ditempuh namun sia-sia belaka. Bahkan mereka terus melahirkan keturunan demi keturunan yang kufur. Kekafiran meregenerasi. Solusi satu-satunya adalah dengan membumihanguskan mereka agar rantai kesesatan bisa terputus. Doa Nuh ini disampaikan dalam Al-Qur’an,

وَقَالَ نُوْحٌ رَّبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْاَرْضِ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ دَيَّارًا

Artinya, “Nuh berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.” (Nūḥ [71]:26)

Allah pun mengabulkan doa Nuh, namun tidak langsung membinasakan kaumnya, melainkan menyuruh Nuh untuk menanam pohon terlebih dulu untuk dibuat bahtera. Jarak waktu menanam sampai layak dibuat bahan perahu adalah seratus tahun. Kemudian proses pembuatan bahteranya sendiri juga 100 tahun. Allah akan mengirim banjir bah dahsyat, oleh karena itu Nuh disuruh membuat perahu dalam ukuran sangat besar untuk menampung umatnya yang beriman.

Begitu banjir bah akan tiba, Nuh segera mengumumkan kaumnya untuk naik ke bahtera. Mereka yang beriman akan percaya dan ikut. Sementara yang kufur menolak bahkan mengolok-olok, “Bagaimana mungkin cuaca kemarau seperti ini akan terjadi banjir?. Sungguh tidak masuk akal!.”

Ibnu Katsir dalam al-Bidāyah wan Nihāyah menyebutkan, ulama berbeda pendapat terkait jumlah orang yang mau menaiki bahtera Nuh. Ada yang menyebut 80 jiwa, ada yang mengatakan 72, ada yang berpendapat hanya 10, ada pula yang mengatakan hanya 4 jiwa (Nuh dan ketiga putranya yang beriman). Terlepas berapa yang tepat, yang jelas jumlah tersebut menunjukkan hanya segelintir orang yang mau beriman. Bayangkan, Nuh berdakwah selama 1.500 tahun. Selain manusia, bahtera juga memuat hewan berpasang-pasangan demi menjaga ekosistem (Ibnu Kastir, vol. 1, h. .261).

Saat tengah kecewa dengan kaumnya, Nuh justru harus menerima kenyataan bahwa putranya sendiri, Kan’an, tetap tidak mau beriman. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Bahkan saat banjir bah sudah menerjang, Kan’an tetap kukuh dengan pendiriannya. Ia naik ke atas gunung dengan harapan bisa selamat dari amukan banjir dan badai ganas. Namun nahas, banjir begitu tinggi hingga Kan’an dan umat Nuh yang kufur terseret bencana alam mematikan itu. Episode pilu saat Nuh memanggil-manggil putranya itu disebutkan dalam Al-Qur’an,

وَنَادٰى نُوْحُ ِۨابْنَهٗ وَكَانَ فِيْ مَعْزِلٍ يّٰبُنَيَّ ارْكَبْ مَّعَنَا وَلَا تَكُنْ مَّعَ الْكٰفِرِيْنَ

Artinya, “Nuh memanggil anaknya, sedang dia (anak itu) berada di tempat (yang jauh) terpencil, “Wahai anakku, naiklah (ke bahtera) bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir.” (Hūd [11]:42)

Benarkah Kan’an Putra Nuh?

Melihat karakter Kan’an yang tidak mencerminkan putra seorang rasul, ulama pun berbeda pendapat apakah dia benar-benar putra Nuh atau bukan. Terkait hal ini ada tiga perbedaan pandangan. Pendapat pertama mengatakan bahwa Ka’an merupakan anak biologis dari Nuh. Argumen ini didasari pada sejumlah nash Al-Qur’an yang secara eksplisit menegaskan bahwa Kan’an benar-benar anak kadung rasul kedua ini. Allah swt berfirman,

وَنَادٰى نُوْحُ ِۨابْنَهٗ وَكَانَ فِيْ مَعْزِلٍ يّٰبُنَيَّ ارْكَبْ مَّعَنَا وَلَا تَكُنْ مَّعَ الْكٰفِرِيْنَ

Artinya, “Nuh memanggil anaknya, sedang dia (anak itu) berada di tempat (yang jauh) terpencil, “Wahai anakku, naiklah (ke bahtera) bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir.” (Hūd [11]:42)

Juga firman Allah berikut,

وَنَادٰى نُوْحٌ رَّبَّهٗ فَقَالَ رَبِّ اِنَّ ابْنِيْ مِنْ اَهْلِيْۚ وَاِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَاَنْتَ اَحْكَمُ الْحٰكِمِيْنَ

Artinya, “Nuh memohon kepada Tuhannya seraya berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku adalah termasuk keluargaku dan sesungguhnya janji-Mu itu pasti benar. Engkau adalah hakim yang paling adil.” (Hūd [11]:45)

Kedua ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa Kan’an adalah putra kandung Nuh. Hal ini ditunjukkan dengan lafadz ابْنَهٗ  dan ابْنِيْ. Keduanya merupakan bentuk susunan idhāfah (penyandaran satu lafadz pada lafadz lainnya) yang memiliki fungsi kepemilikan (lil milki). Lalu bagaimana dengan firman Allah lain yang menuturkan Kan’an bukan bagian dari keluarga Nuh. Disebutkan dalam Al-Qur’an,

قَالَ يٰنُوْحُ اِنَّهٗ لَيْسَ مِنْ اَهْلِكَ ۚ

Artinya, “Dia (Allah) berfirman, “Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu.” (Hūd [11]:46)

Berkaitan dengan hal ini, Syekh Muhammad Sayyid ath-Thantawi dalam Tafsīr al-Washīth memberi penjelasan bahwa redaksi “bukanlah termasuk keluargamu” pada ayat di atas tidak menafikan Kan’an sebagai putra Nuh, akan tetapi menegaskan bahwa Kan’an tidak memiliki ikatan kekeluargaan berdasarkan akidah. Artinya, secara biologis ia tetap sebagai putra Nuh, tapi secara spiritual ia bukan bagian dari kaum muslimin (ath-Thantawi, 1992: vol. 7, h. 214).

Pendapat kedua menyebutkan bahwa Kan’an merupakan anak tiri Nuh dari istri yang bernama Wahilah (dalam versi lain bernama Waghilah). Argumen kedua ini didukung Muhammad bin Ali al-Baqir dan Hasan al-Bashri (ar-Razi, 1981: vol. 17, h. 240). Imad Hilali dalam Mu’jamu A’lāmin Nisā fil Qur’ān menyebut, Nuh punya dua istri, yang pertama Wahilah, seorang wanita yang tidak mau beriman sekaligus ibu dari Kan’an. Istri yang kedua (tidak diketahui namanya) adalah yang beriman. Dari istri yang kedua ini, Nuh memiliki tiga putra yang semuanya beriman. Mereka adalah Sam, Ḥam, dan Yafis (Hilali, 2010: 266).

Pendapat ketiga menyebut Ka’an merupakan anak dari hasil zina istrinya yang tidak diketahui oleh Nuh. Argumen ini banyak ditentang oleh ulama karena sangat kontroversial. Pertama karena jelas tidak sesuai dengan sejumlah nash Al-Qur’an yang sudah penulis kemukakan sebelumnya. Kedua, sangat tidak mungkin Nuh memiliki istri pendosa yang sampai melakukan perbuatan asusila seperti ini. Fakhruddin ar-Razi menyebut pendapat ini sangat berbahaya karena bisa merusak marwah seorang rasul (ar-Razi, 1981: vol. 17, h. 240). Ibnu Katsir juga menegaskan bahwa penafsiran demikian banyak dikecam oleh para ulama (Ibnu Katsir, 2007: vol 7, h. 444).

Mengapa Enggan Beriman?

Sebagai putra kandungnya, tentu Nuh sangat bersedih Kan’an tidak mau beriman hingga akhir hayatnya. Padahal sang ayah sudah berdakwah kurang lebih 1.500 tahun. Barangkali dalam benak kita terbersit, mengapa putra Nuh ditakdirkan tidak beriman? Bukankah dia anak seorang rasul, manusia yang memiliki kedudukan spiritual sangat tinggi di sisi Allah. Untuk menjawab ini, penulis perlu menegaskan bahwa persoalan hidayah adalah urusan Yang Maha Kuasa. Jika Allah belum menghendaki, dengan cara apapun kita mengajak orang beriman, tetap saja tidak bergeming. Dalam Al-Qur’an disebutkan,

اِنَّكَ لَا تَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚوَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Artinya, “Sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad) tidak (akan dapat) memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Dia paling tahu tentang orang-orang yang (mau) menerima petunjuk.” (Al-Qaṣhaṣ [28]:56)

Barangkali kisah Abu Thalib merupakan contoh paling konkret. Salah satu sosok yang paling menyayangi Nabi Muhammad sekaligus membela jalan dakwahnya hingga akhirnya hayat ini wafat dalam keadaan tidak beriman. Padahal, para sejarawan sepakat bahwa Abu Thalib memiliki jasa begitu besar dalam perjuangan dakwah keponakannya itu. Saat menjelang kewafatan paman tersayang, Rasulullah sempat berbisik di sampingnya,

يَا عَمّ قُلْ لَا إِلَه إِلَّا اللَّه كَلِمَة أُحَاجّ لَك بِهَا عِنْد اللَّه.

Artinya, “Wahai paman, ucapkanlah lā ilāha illallāh, agar aku kelak bisa membelamu saat menghadap Allah.”

Kisah Kan’an juga menyimpan hikmah bahwa garis keturunan (nasab) tidak menjamin kehidupan seseorang. Putra seorang kiai tidak dijamin kelak juga menjadi kiai, putra seorang ustadz juga tidak dijamin menjadi anak saleh. Sebagai putra nabi juga tidak dijamin meninggal dalam keadaan beriman. Wallahu a’lam.

Muhamad AbrorDosen Ma'had Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta. Alumnus Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta.

tirto.id - Paus Petrus kerap disapa Saint Peter atau Santo Petrus merupakan Pope (Paus) Katolik pertama. DIa adalah salah satu murid Yesus atau Rasul. Petrus awalnya dikenal dengan nama Ibrani, Simeon atau dalam bahasa Yunani, Simon.

Petrus menjadi Paus pertama didasarkan pada Matius 16:18. Dalam Kitab Injil tersebut Yesus dianggap telah menjadikan Petrus sebagai pemimpin para rasul.

"Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya," isi Matius 16:18.

Menurut catatan situs Britannica, Petrus mulanya menjalankan pekerjaan di daerah Antiokhia, Pisidia, Yunani. Lokasi ini terkenal pada abad-abad awal Masehi sebagai pusat pengajaran agama Kristen. Dalam Perjanjian Baru di Alkitab Kristen, kota ini disebutkan keberadaannya.

Tidak berbuat maksiat

Sifat malaikat yang paling melekat adalah tidak berbuat maksiat. Malaikat diketahui sebagai makhluk Allah  SWT yang tidak pernah melanggar perintah-Nya. Berikut penjelasannya dalam surah At-Tahrim ayat 6:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Apabila manusia memiliki sifat buruk, seperti sombong, maka berbeda dengan malaikat. Di antara sifat-sifat malaikat, ada satu sifat yang cukup menonjol, yakni tidak sombong.

Malaikat berbeda dengan jin dan manusia yang memiliki kesombongan. Sebaliknya, malaikat adalah makhluk suci dan mulia yang tidak pernah menyombongkan diri. Hal ini dijelaskan dalam surah An-Nahl ayat 49:

وَلِلّٰهِ يَسْجُدُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ مِنْ دَاۤبَّةٍ وَّالْمَلٰۤىِٕكَةُ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُوْنَ

Artinya: Dan segala apa yang ada di langit dan di bumi hanya bersujud kepada Allah yaitu semua makhluk bergerak (bernyawa) dan (juga) para malaikat, dan mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri.

Tidak memiliki rasa angkuh

Sifat-sifat malaikat dapat diketahui dari terjemahan surah dalam Al-Qur`an. Contohnya, dalam surah Al-Anbiya ayat 19. Dalam surat tersebut dijelaskan, malaikat merupakan makhluk Allah SWT yang tidak punya rasa angkuh.

Malaikat senantiasa menyembah Allah SWT.

وَلَهٗ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ وَمَنْ عِنْدَهٗ لَا يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِهٖ وَلَا يَسْتَحْسِرُوْنَ ۚ

Artinya: Dan milik-Nya siapa yang di langit dan di bumi. Dan (malaikat-malaikat) yang di sisi-Nya, tidak mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tidak (pula) merasa letih.

Bisa berubah wujud

Di antara sekian banyak sifat-sifat malaikat yang mulia, ada pula sifat ini. Pasalnya, malaikat digambarkan dapat berubah wujud. Seperti malaikat Jibril yang pernah menampakkan diri sebagai manusia.

Sifat malaikat ini dijelaskan dalam surah Maryam ayat 17:

فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُوْنِهِمْ حِجَابًاۗ فَاَرْسَلْنَآ اِلَيْهَا رُوْحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا

Artinya: Lalu dia memasang tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami (Jibril) kepadanya, maka dia menampakkan diri di hadapannya dalam bentuk manusia yang sempurna.

Tidak merasa letih

Berdasarkan surah Al-Anbiya ayat 19 juga, dapat diketahui bahwa malaikat adalah makhluk Allah SWT yang tidak pernah merasa letih atau lelah. Sifat ini berbeda dengan manusia yang bisa saja mengalami sakit.

Lantaran dikaruniai sifat tersebut, malaikat tidak kelelahan ketika menjalankan tugas-tugasnya sesuai perintah Allah SWT.

Berikut bunyi surah Al-Anbiya ayat 19:

وَلَهٗ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ وَمَنْ عِنْدَهٗ لَا يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِهٖ وَلَا يَسْتَحْسِرُوْنَ ۚ

Artinya: Dan milik-Nya siapa yang di langit dan di bumi. Dan (malaikat-malaikat) yang di sisi-Nya, tidak mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tidak (pula) merasa letih.

Tidak makan dan tidak minum

Dilansir NU Online, sifat-sifat malaikat sering dijelaskan dalam Al-Qur`an. Sifat dan tugasnya berbeda dengan manusia.

Contoh sifat yang mudah diingat adalah malaikat tidak makan dan minum. Jadi, malaikat tidak memiliki rasa lapar. Mereka tetap bisa bertahan meski tidak makan dan minum.

Sifat ini tentu berbeda dengan manusia yang membutuhkan asupan untuk bertahan hidup. Jika tidak makan dan minum, sistem kekebalan tubuh manusia akan menurun.

Bila kondisi tersebut dibiarkan, manusia akan jatuh sakit, bahkan bisa sampai meninggal karena kelaparan atau dehidrasi.

Petrus, dari Penjala Ikan hingga Penjala Manusia

Berdasarkan catatan di situs resmi Vatican, Santo Peter lahir di daerah Betsaida, Galilea. Pada awalnya, Peter alias Simon bekerja di Antiokhia. Ia adalah nelayan.

Berdasarkan Matius 4:18 diceritakan, saat Yesus sedang berjalan menyusur danau Galilea, Yesus melihat dua orang bersaudara Simon yang disebut Petrus dan Andreas. Mereka sedang menebar jalan di danau, sebab mereka penjalan ikan.

Lalu Yesus berkata kepada mereka: "Mari ikutlan Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia." Lalu Petrus dan Andres meninggalkan jalanya dan mengikuti Yesus.

Petrus adalah seorang sederhana yang giat bekerja. Ia murah hati, jujur dan dekat dengan Yesus. Namun, Petrus juga seorang yang penakut. Beberapa kali Injil mencatat sifat petrus tersebut. Misalnya ketika melihat Yesus berjalan di atas air, Petrus dengan penuh iman berseru :

"Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air. Kata Yesus, datanglah. Maka Petrus turun dari perahu dan berjalan di atas air mendapatkan Yesus," demikian dalm Matius 14:28-29.

Namun ketika merasakan dinginnya tiupan angin yang menerpa wajahnya, dan melihat gelombang disekelilingnya, Petrus mulai takut. Imannya yang tadi bernyala-nyala seketika padam.

Ketika Yesus ditangkap, sekali lagi Petrus ketakutan. Saat itulah ia menyangkal Yesus Kristus sebanyak tiga kali. Namun Petrus kemudian menyesali perbuatannya.

Selalu bertasbih pada Allah SWT

Bentuk ketaatan dan kepatuhan malaikat juga diungkapkan dalam surah Al-Baqarah ayat 30. Dalam ayat tersebut, malaikat digambarkan sebagai makhluk mulia yang selalu bertasbih pada Allah SWT. Mereka bertasbih untuk memuji dan menyucikan-Nya.

Berikut bunyi surahnya:

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.