Imbasnya Artinya

Imbasnya Artinya

Pencarian Anda "imbasnya" tidak ditemukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia

Definisi / Arti kata imbasnya tidak ada di KBBI, kami beri cara munulis yang baik dan benar.. Lihat arti dan definisi di jagokata.

Database utama KBBI merupakan Hak Cipta Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud (Pusat Bahasa)

Oleh: Naila Alfianul Habibah, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Pernahkah Anda merasa tergugah untuk membeli suatu barang karena logo barang tersebut lucu, nama barang tersebut unik, atau hanya karena iklan barang tersebut muncul terus-menerus di berbagai platform media sosial yang Anda akses? Selamat datang di era baru dunia pemasaran, neuromarketing.

Lee, Lim, dan Ulman (dalam Fauzi dan Riyanto, 2022) mengartikan bahwa neuromarketing adalah sebuah ide revolusioner dalam ilmu ekonomi yang menggabungkan beberapa disiplin ilmu seperti ilmu saraf, psikologi, dan ekonomi (khususnya pemasaran).

Dengan kata lain, neuromarketing meyakini bahwa terdapat hubungan antara pikiran bawah sadar seseorang dan keputusannya yang terkadang bersifat tidak rasional, termasuk dalam hal membeli barang. Penerapan strategi pemasaran ini melibatkan kombinasi mengenai hal-hal personal seseorang seperti keadaan hati, warna favorit, topik terhangat, bahkan sosok yang diidolakan yang diolah sedemikian rupa melalui brand awareness sehingga mampu memengaruhi keputusan pembeli dan menghadirkan pengalaman baru dalam berbelanja.

Keberadaan neuromarketing tentu saja merupakan buntut dari perkembangan teknologi yang kian pesat dan tak terbatas sebagai bentuk nyata era revolusi industri 4.0. Era ini menciptakan perubahan pola pikir dan kebiasaan masyarakat dalam memandang aspek konsumsi dan ekonomi yang berujung pada isu-isu sosial lain seperti kualitas hidup dan aktualisasi diri.

Walaupun tergolong baru, pendalaman mengenai neuromarketing diprediksi mampu mendongkrak kuantitas produk terjual yang berimplikasi pada peningkatan tingkat konsumsi masyarakat Indonesia secara massif. Sejalan dengan opini tersebut, beberapa pengamat menjelaskan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat dalam satu dekade terakhir, dengan budaya konsumerisme yang besar, serta daya beli yang tinggi.

Dengan jumlah penduduk 275 juta jiwa per tahun 2022 (BPS, 2022) fakta tersebut mendorong potensi keberhasilan penerapan neuromarketing dan membuat Indonesia menjadi konsumen terbesar di pasar perdagangan dunia.

Salah satu bukti tren lonjakan konsumsi terjadi pada tahun 2022. Bank Indonesia melaporkan nilai transaksi perdagangan elektronik atau e-commerce di Indonesia sebanyak Rp475,3 triliun dengan volume transaksi sebanyak 3,49 miliar kali. Jumlah tersebut lebih tinggi 18,8% dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp401 triliun. Jika disandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Tahun 2022 yang tercatat sebesar Rp19.588,4 triliun, proporsi jumlah transaksi digital tersebut terhadap PDB adalah sebesar 2,42%.

Sedangkan jika disandingkan dengan pengeluaran konsumsi Rumah Tangga (RT) sebagai penyusun terbesar PDB Tahun 2022 yakni Rp10.160,4 triliun, proporsi jumlah transaksi digital tersebut terhadap pengeluaran konsumsi RT adalah sebesar Rp4,68%.

Kendati demikian, nominal yang tercatat tersebut masih lebih rendah dibandingkan target transaksi perdagangan elektronik yang ditetapkan oleh bank sentral di angka Rp489 triliun dan jauh lebih rendah dibandingkan perkiraan total transaksi digital dari studi Mckinsey tahun 2018 yakni sebesar US$55-65 miliar atau sebesar Rp838-990 triliun. Sehingga dapat diartikan bahwa fenomena konsumtif yang terjadi di Indonesia dalam bentuk transaksi digital masih memiliki peluang untuk dapat terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan.

Eksistensi dan Esensi Pajak

“In this world nothing can be said to be certain, expect death and taxes,” tulis Benjarmin Franklin dalam The Works of Benjamin Franklin, 1817.

Dari kutipan dalam buku tersebut kita dapat mengambil makna bahwa pajak ialah suatu hal yang begitu mutlak sehingga diparalelkan dengan kematian. Terlebih Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang berbunyi, “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Ini mempertegas sifat memaksa yang melekat pada kata “pajak”.

Menurut Resmi (2014:3) terdapat dua fungsi pajak bagi negara yakni sebagai sumber keuangan negara dan sebagai pengatur. Implementasi pajak sungguh bersifat multidimensional dan krusial. Hal ini karena selain mengumpulkan penerimaan, pajak juga dituntut untuk memberikan insentif baik pemotongan maupun pembebasan pajak untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Tanpa adanya keseimbangan antara pengumpulan dan pemberian insentif pajak, akan muncul banyak permasalahan yang bermuara pada lemahnya fundamental ekonomi negara. Hal tersebutlah yang mencerminkan esensi sebuah konsep perpajakan untuk suatu negara.

Pajak harus adaptif dan dinamis untuk dapat terus hadir dan mengakomodasi setiap perubahan yang ada. Era revolusi industri 4.0 telah membentuk pergeseran perilaku ekonomi masyarakat yang bergerak dari sistem konvensional ke sistem digital. Selain melalui pengembangan keilmuan sumber daya manusia, perlu juga dilakukan perluasan pengaturan basis pajak maupun pembukaan sektor pajak baru agar tidak terjadi kebocoran sumber penerimaan negara.

Berbicara mengenai konsumsi, maka jenis pajak yang relevan untuk dibahas ialah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Eksistensi PPN dalam mewujudkan penerimaan pajak yang optimal sangat diperlukan di tengah tren konsumsi masyarakat yang perkembangannya cukup impresif. PPN merupakan salah satu jenis pajak yang kontribusinya sangat besar terhadap penerimaan negara. Pada tahun 2022, penerimaan pajak yang bersumber dari PPN adalah sebesar Rp687,6 triliun dari total penerimaan pajak sebesar Rp1.716,8 triliun yang artinya memiliki kontribusi sebesar 40%.

Realisasi tersebut merupakan buah perubahan ketentuan PPN melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan penerapan PPN atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2022.

Dalam konferensi pers Realisasi APBN 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2022, negara berhasil mengumpulkan PPN atas PMSE sebesar Rp5,48 triliun. Jumlah ini meningkat Rp1,58 triliun dari tahun 2021 dan Rp4,75 triliun dari tahun 2020. Artinya, sejak diberlakukan bulan Juli 2020, PPN atas PMSE sudah mengalami pertumbuhan sebesar 650%.

Untuk mengukur kinerja PPN suatu negara, indikator yang biasa digunakan adalah Value Added Tax (VAT) gross collection ratio. Rasio ini mengindikasikan kemampuan pemerintah dalam mengoptimalisasi pungutan atas konsumsi dengan membandingkan realisasi penerimaan PPN dengan tarif PPN yang dikalikan konsumsi rumah tangga.

Dilansir dari laman ddtc.co.id, Indonesia mencetak VAT gross collection ratio sebesar 61,52% pada tahun 2022. Angka tersebut naik sebesar 9,91% dibanding tahun 2020 dan naik sebesar 1,76% dibanding tahun 2021. Walaupun mengalami kenaikan persentase dalam tiga tahun terakhir, persentase tersebut mengindikasikan bahwa masih terdapat potensi pajak dalam bentuk PPN yang belum mampu dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Memandang Tax-Gap sebagai Strategi Serang Balik

Belum optimalnya tingkat VAT gross collection rate mengandung arti lain bahwa terdapat selisih antara potensi perpajakan yang seharusnya dikumpulkan oleh negara dengan realisasi penerimaan pajak. Selisih ini disebut dengan tax-gap.

Menurut laman bppk.kemenkeu.go.id, perkiraan VAT tax-gap dapat dilakukan dengan membandingkan PPN yang tersirat dari data pengeluaran konsumen dengan realisasi penerimaan PPN. Dengan mengadopsi konsep ini, maka atas data pengeluaran rumah tangga sebesar Rp10.160,4 triliun dapat diasumsikan potensi PPN selama 2022 adalah sebesar Rp1.117,64 triliun. Sehingga dengan realisasi PPN tahun 2022 sebesar Rp687,6 triliun terdapat ­tax-gap sebesar sekitar 38%. Angka ini merupakan hal penting yang perlu menjadi sorotan dalam upaya penguatan penerimaan negara.

Analisis komponen perhitungan tax-gap dapat membantu fiskus mengidentifikasi variabel kebocoran penerimaan pajak sehingga dalam jangka panjang dapat menghasilkan rumusan kebijakan untuk mengantisipasi hal tersebut dan meningkatkan perbaikan sistem pemungutan pajak.

Khususnya untuk PPN, banyak sekali faktor yang dapat digali, seperti memperluas basis pajak dengan mengkaji ulang penerapan fasilitas PPN, mempertimbangkan ulang batas kategori Pengusaha Kena Pajak, serta mengawal implementasi PPN atas PMSE. Dengan demikian, tax-gap tak lagi dianggap sebagai simbol kelemahan dan kegagalan, melainkan peluang untuk dapat meningkatkan potensi dan mengadakan perbaikan kuantitas serta kualitas penerimaan negara.

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.